Kamis, 30 Oktober 2014

Anime Gin No Saji dan Sedikit Pandangan tentang Pendidikan Indonesia

Anime mungkin sesuatu yang akrab banget sama generasi yang lahir 90-an. Gimana enggak? Setelah seminggu penuh sekolah, maka pada hari minggu kita biasanya bakal santai-santai seharian. Dan tontonan wajib kita tak lain adalah anime. Dari terbit fajar sampe siang bolong, deretan anime selalu ada untuk menemani hari minggu kita. Mulai dari doraemon sampai dragon ball, kita semua tentu hafal dari A-Z. Tetapi seiring berjalannya waktu, anime makin susah ditemukan. Tayangan diganti sama sinetron ato acara tv lain yang sebenarnya ga bermutu.

Sebagai bagian dari generasi 90-an, saya masih suka nonton anime hingga sekarang. Walaupun umur saya sudah kepala 2, saya masih suka mengikuti anime. Untuk mendapatkan anime sekarang ini, biasanya saya mendownload dari situs-situs tertentu atau kalau tidak mau lama menunggu siapkan saja flash disk dan pergi ke warnet, copy-paste, tontonan anime siap dinikmati dan lebih nikmat lagi kalau ditemani secangkir teh atau makanan kecil.

Belakangan ini saya lagi suka nonton anime yang bergenre komedi. Kebetulan saya juga lagi bosan sama anime yang isinya superhero, jurus maut, monster dan sebagaimana anime mainstream pada umumnya. Setelah browsing di beberapa situs dan blog, akhirnya saya menemukan 1 buah anime berjudul ‘Gin No Saji’ atau jika ditranslate menjadi “Silver Spoon”. Segera saja saya menuju warnet langganan saya yang lengkap menyediakan film khususnya anime.


Anime berjudul Gin No Saji ini sebetulnya anime dengan ide cerita yang sangat sederhana, yaitu anak remaja yang bersekolah di akademi peternakan setingkat SMA(mungkin sejenis SMK kalo di Indonesia). Diangkat dari komik yang berjudul sama, karangan Hiromu Arakawa yang populer dengan karyanya yang sudah kita kenal, Fullmetal Alchemist. Menceritakan seorang Yugo Hachiken, seorang remaja yang terdampar di akademi agrikultural Yezo yang terletak di Hokaido. Yugo yang berasal dari Sapporo akhirnya bersekolah di akademi karena keinginannya yang ingin pergi jauh dari orang tuanya. Berbeda dengan teman-teman sekolahnya, dia sebenarnya gak punya minat dalam bidang agrikultur. Itu terlihat ketika pada pertama masuk sekolah dia sangat tidak tahan harus berkotor-ria mengurus hewan ternak yang bau. Tetapi dibalik itu semua, sebenarnya dia sangat iri melihat teman-temannya yang sudah memiliki tujuan hidup, sementara dia belum punya tujuan apa-apa.

Dalam ceritanya, Yugo bertemu dengan bermacam-macam teman baru dan juga guru-guru yang memiliki kemampuan dan kepribadian yang unik. Kemudian akhirnya dia belajar bahwa kehidupan di sekolah agrikultur Yezo sangatlah berat. Perlahan Yugo dapat menyesuaikan dengan lingkungan barunya itu. Dia juga akhirnya berubah yang semula merupakan remaja yang tak acuh hingga menjadi orang yang penuh empati dan semangat, ini semua karena dia belajar bagaimana dunia agrikultur telah merubah hidupnya dan teman-temannya.

Secara keseluruhan anime ini menceritakan kehidupan Yugo dan teman-temannya sebagai siswa sekolah agrikultur. Mengikuti pelajaran di kelas, praktikum lapangan, mengurus ternak adalah kegiatan sehari-hari yang harus dilakukan setiap siswa. Selain mengikuti kegiatan sekolah Yugo dan teman-temannya juga diwajibkan untuk mengikuti kegiatan di klub sekolah. Selain itu, anime ini juga dibumbui oleh adegan-adegan kocak sebagaimana film anime bergenre komedi.

Selain menceritakan kehidupan murid sekolah. Dalam anime ini juga terselip ilmu bidang agrikultur, seperti peternakan dan pertanian. Dalam beberapa adegan beberapa tokoh dalam anime ini juga sering terlibat dialog mengenai masalah-masalah pertanian dan peternakan. Terkadang muncul istilah-istilah dalam agrikultur yang dijelaskan oleh para tokohnya dengan bahasa yang bisa dibilang cukup sederhana. Jadi selain mendapatkan hiburan, kita juga mendapatkan ilmu tentang agrikultural. anime ini bisa menjadi alternatif yang sangat recomended jika anda bosan dengan anime bertema superhero yang itu-itu saja.

Setelah menonton anime ini, pemikiran saya tentang pendidikan menjadi terbuka. Dari beberapa anime yang pernah saya tonton sebelumnya ada beberapa yang mengandung unsur edukasi. Jika Gin No Saji terdapat pengetahuan mengenai agrikultur maka beberapa anime lain seperti Samurai X yang memasukan unsur sejarah di dalamnya. Memang tidak begitu mengena, namun setidaknya dapat mengenalkan sejarah ke anak-anak yang biasanya menggemari film kartun

Selain itu, game buatan jepang juga ada beberapa yang memasukan unsur edukasi di dalamnya. Sebut saja game Samurai Warrior yang sangat laris tidak hanya di Jepang, namun juga di Indonesia. Perusahaan pengembangnya, Koei mungkin ingin mengajak para gamer untuk merasakan suasana peperangan yang terjadi dan menjadi bagian dari sejarah ketika mereka bermain menggunakan tokoh-tokoh yang ada dalam game tersebut seperti Yukimura Sanada atau Oda Nobunaga.

Dalam hal ini Jepang berani menggunakan media-media seperti komik(manga), film kartun dan video game sebagai sarana pendidikan. Beberapa hal yang sangat dipandang sebelah mata oleh orang Indonesia. Mungkin sama seperti yang lain, saya sebagai generasi 90-an yang tidak kekurangan hiburan pasti  pernah mendapat teguran dari orang tua,”kamu kok senengnya nonton kartun terus. Nanti jadi bodo lo”. Kalimat seperti itu pasti sering terdengar di antara kita. Namun jika mereka mau berpikir sedikit saja. Sebenarnya banyak sekali pelajaran moral yang didapat dari film kartun.
Barangkali kita mendapat pelajaran tentang persahabatan dari film Naruto. Belajar tentang kerjasama tim yang solid dari film Captain Tsubasa. Atau kita belajar tentang pentingnya menghormati guru dari film Kungfu Boy. Hal-hal semacam itulah yang mungkin tidak akan pernah kita pelajari dari buku pelajaran. Namun semakin kesini, kesenangan kita dan media pembelajaran moral kita semakin berkurang. Diganti dengan program-program yang justru malah bersifat merusak.

Mungkin ada baiknya kita sedikit menengok ke negara yang dahulu pernah menganggap diri mereka saudara tua. Walaupun mereka tadinya pernah meninggalkan derita kepada kita, namun tak ada salahnya kita belajar dari mereka. Setidaknya mereka yang dahulu menjajah kita telah menemukan cara bagaimana belajar tidak terasa membosankan. Mereka juga telah menemukan cara belajar yang menyenangkan dimana memadukan edukasi dan entertainment. Cara yang cukup brilian mencampurkan ilmu pengetahuan, seni, teknologi dan hiburan yang dimana hasilnya secara tak langsung dapat juga kita nikmati.

Kemudian muncul pertanyaan, apakah kita bisa seperti mereka? Maka saya akan menjawab, ya tentu saja. Di Indonesia saya yakin tidak akan kekurangan orang-orang yang kreatif dan peduli kepada kondisi moral bangsa. Dengan adanya orang-orang yang kreatif tersebut, kita akan merubah cara belajar kita yang tadinya membosankan menjadi lebih menyenangkan. Dengan lebih memberilan mereka ruang & kesempatan kepada para pelaku industri kreatif. Tentunya juga kerjasama dari banyak pihak. banyak cara yang dapat dilakukan, asalkan ada niat.

Boleh jadi sebentar lagi kita akan mudah mempelajari sejarah dengan video game seperti samurai warriors namun dengan setting kerajaan Majapahit. Atau kita akan memainkan game tembak-tembakkan tetapi dengan berlatar serangan umum 1 maret atau Bandung lautan api. 

Sekarang ini mungkin adalah saat yang tepat. Dengan pemimpin yang aktif menggencarkan ‘revolusi mental’ dan menteri pendidikan yang memiliki visi. Kita pasti memiliki kesempatan untuk berubah ke arah yang jauh lebih baik lagi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar